Perjalanan Hidupku #4; Tinggal di Asrama Takmir

Saya ingat betul kala pertama kali tiba di Kota Gudeg, Yogyakarta. Padahal, tak ada sanak famili disana, yang saya punya hanya satu orang saja waktu itu. Itupun hanya kakak kelas di bangku Aliyah dulu. Teh Syifa, begitulah biasa saya sapa beliau. 

Teh Syifa adalah orang yang paling berjasa dalam hidup saya. Tanpa ada bantuan, saran dan petunjuk dari beliau, tidak mungkin saya tahu dan menginjakan kaki di kota Gudeg hingga detik ini.

Hari itu, tanggal 25 Mei 2009. Saya memberanikan diri untuk berhijrah dan berniat untuk menuntut ilmu di sana. Walau pun orang tua kala itu (sehari sebelum keberangkatan) tidak mengizinkan dan bersikukuh untuk mencegah saya berangkat. Alhamdulillah dengan usaha yang gigih akhirnya saya dapat meyakinkan orang tua (teutama ibu) untuk “melepaskan” anak kesayangannya.

Berangkat dari Terminal Grogol – Jakarta Barat dengan menggunakan Bis Handoyo kelas ekonomi (waktu itu Rp. 90.000,-) dan berangkat pukul 17.00 membuat saya merasa begitu was-was. Pasalnya ini adalah perjalanan pertama dalam hidup saya yang paling jauh. Dulu, perjalanan paling jauh saya cuma dari Serang ke Jakarta Barat. Itu pun kalau di hitung jarak tempuhnya hanya sekitar 3-4 jam saja.

Ketika saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja dengan jarak tempuh sekitar 11-12 jam itu merupakan perjalanan yanh cukup berat. Pertama, saya tidak tahu daerah Jogja. Kedua, hanya secarik alamat yang pernah Teh Syifa dulu berikan untuk saya simpan. Ketiga, pengalaman saya dalam bepergian sangat minim, bahkan boleh dibilang say ini wong ndeso.

Pengalaman yang paling mengerikan waktu itu adalah saya dipindahkan dari Bis Handoyo ke bis yang lain. Padahal malam itu hujan lebat dan sangat dingin. Dengan sangat terpaksa saya pun pindah bis. Sempat ingin marah, tetapi saya sadar harus marah pada siapa. 

Akhirnya saya pun mengirimkan SMS ke Teh Syifa hanya sekedar menyampaikan bahwa saya dipindah untuk ganti bis. Walau pun pada waktu itu sudah pukul 02.00, saya tetap memberanikan diri untuk SMS ke Teh Syifa, saya tahu bahwa Teh Syifa sedang istirahat kala itu.

Rasa ketakutan itu terobati ketika sudah tiba di kota Yogyakarta yang sejuk dan campur dingin juga. Saya tiba di terminal Jombor dan meminta Teh Syifa untuk menjemput. Setelah mendapat saran dari Teh Syifa, saya pun disarankan supaya menunggu di perempatan Jalan Kaliurang km 4,5 (Kentungan). Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Teh Syifa pun tiba. Kami pun langusng melaju ke tempat dimana Teh Syifa tinggal.

Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya motor yang kami tumpangi tiba di depan sala satu mesjid yang berkubah emas. Mungkin mirip mesjid Dian Almahri seperti yang ada di Depok. Ternyata mesjid itu bernama Mesjid Ulil Albab. 

Mesjid yang terletak di lingkungan kampus Universitas Islam Indonesia –Yogyakarta, berarti mesjid yang besar dan megah itu milik kampus. Berarti, Teh Syifa adalah salah satu takmiroh (pengurus mesjid) kampus tersebut.

Di takmir itulah saya dikenalkan dengan teman-teman baru. Banyak teman  yang saya kenal disana. Terutama yang paling dekat kala itu adalah Ali Syamsudin, atau lebih tenar dengan panggilan Iim atau Im. 

Kawan baru saya ini berasal dari daerah NTT lebih tepatnya dari  Waingapu. Dengan logat dan gayanya yang khas, pertama kali jumpa dengannya, saya dibuat ingin tertawa terus. Tetapi lama kelamaan semuanya jadi biasa. Hingga kami pun menjadi lebih akrab dan saling mengenal satu sama lain. 

Kini Ali, (bisa saya sapa) kuliah di Fakultas Ekonomi dengan jurusan Manajemen dan saat ini sedang mengerjakan tugas akhirnya. Semoga kita sukses....

Terima kasih Teh Syifa... Terima kasih Tekmir Ulil Albab.... 

Previous
Next Post »
Thanks for your comment